Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir memilki sejumlah fungsi ekologis berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan, penydia kebutuhan pokok hidup dan penerima limbah (Bengen, 2002). Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam pemanfaatannya. Untuk mengharapkan keberlanjutan fumgsi dimensi ekologis yang dimiliki oleh kawasan pesisir, selayaknya digiatkan upaya pelestarian dan pemanfaatan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya secara berkelanjutan.
Ekosistem pesisir dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet bumi. Ukuran dan kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih mudah jika membaginya menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat dibicarakan berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan adaptasi organisme dari suatu komunitas. Tidak ada suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat diterima secara universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh dunia.
Salah satu bagian dari pembagian ekosistem di kawasan pesisir dan laut adalah kawasan intertidal (intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah salah satu sistim lingkungan yang ada, dimana zona intertidal atau lebih dikenal dengan zona pasang surut adalah merupakan daerah yang terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali – hanya beberapa meter luasnya – terletak di antara air tinggi (high water) dan air rendah (low water). Zona ini merupakan bagian laut yang paling dikenal dan paling dekat dengan kegiatan kita apalagi dalam melakukan berbagai macam aktivitas, hanya di daerah inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara langsung selama perioda air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus.
Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.
1.2 Manfaat
Pemahaman akan kondisi lingkungan dan karakter biota yang ada di zona intertidal dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya pengelolaan zona intertidal.
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Zonasi
Zonasi adalah distribusi atas bawah organisme yang dipengaruhi beberapa faktor:
Faktor fisik: Kemiringan permukaan berbatu, kisaran pasang surut & keterbukaan terhadap gerakan ombak. Akibat: Kekeringan, suhu, salinitas & gelombang cahaya.
Faktor biologis: Kompetisi, predator & grazing.
1. Kompetisi: Pantai berbatu terbatas persediaan ruang karena luas daerah yang terbatas.
2. Predator utama: Bintang laut
3. Grazer: Limpet, bulu babi, siput litorina
2.2 Pengertian Zona Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Webber dan Thurman (1991) bahwa pantai berbatu di zona intertidal merupakan salah satu lingkungan yang subur dan kaya akan oksigen. Selain oksigen daerah ini juga mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa jenis organisme untuk berkembang biak.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat dilihat yakni pembagian zona juga dapat dilihat dari pasang surutnya dan organismenya.
Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pada daerah pesisir yang sangat kompleks dan kaya. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang dapat ditemukan pada ekosistem ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan yang ekstrim tersebut. Bentuk adaptasi organisme sangat berkembang utamanya bentuk morfologi yang dibentuk sedemikian rupa. Pada tiap zona intertidal organisme yang hidup sudah mampu untuk bertahan dengan karakteristik lingkungan tersebut.
2.3 Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal
Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait yaitu:
1. Faktor fisika. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal. Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga faktor tersbeut saling terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar matahari, akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan dampaknya daerah menjadi kering.
2. Faktor biologis. Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara organisme menyesuaikan diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk cangkang agar dapat hidup pada derah yang kering.
2.4 Ekologi Zona Intertidal
Daerah pasang surut adalah sistem model penting untuk studi ekologi, khususnya di pantai berbatu gelombang-menyapu. Wilayah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi, dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan spesies berkisar untuk dimampatkan menjadi band yang sangat sempit. Hal ini membuat relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka, sesuatu yang bisa sangat sulit, misalnya, habitat darat yang dapat meregang ribuan kilometer. Masyarakat di pantai yang tersapu gelombang juga memiliki perputaran yang tinggi akibat gangguan, sehingga mungkin untuk menonton suksesi ekologi selama beberapa tahun daripada dekade.
Karena tepi pantai ini bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, organisme hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptions baik untuk kondisi basah dan kering. Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan pengeringan. Khas penduduk pantai berbatu pasang surut termasuk bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.
2.5 Pembagian Zonasi Pada Berbagai Jenis Pantai
Pada dasarnya pantai dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan bentuk substrat utama penyusun pantai, yaitu:
1. Pantai berbatu
2. Pantai berpasir,dan
3. Pantai berlumpur
Ketiga jenis pantai tersebut memiliki bentuk zonasi yang berbeda. Selain pantai berbatu zona intertidal juga banyak ditemukan pada jenis pantai yang lain.
1. Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berbatu
Pada dasarnya pembagian zonasi untuk pantai berbatu dilihat dari pasang surut yang terjadi. Pantai ini didominasi oleh substrat dari batu.
Menurut Stephenson and Stephenson (1972) in Raffaelli and Hawkins (1996) menyatakan bahwa pembagian zona pada pantai berbatu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. A high-shore area (bagian pantai yang paling atas) atau yang biasa disebut supralittoral fringe. Pada zona ini dicirikan oleh berbagai organisme seperti alga yang menjalar, Cyanobacteria (bakteri hijau biru) dan cacing kecil, periwinkles.
2. A broad midshore zone (zona bagian tengah yang lebar) atau yang biasa disebut midlittoral zone. Pada daerah ini didominasi oleh pemakan suspense seperti bernakel, kerang atau terkadang tiram.
3. A narrower low-shore zone (zona bagian bawah yang sempit) atau yang biasa disebut infralittoral fringe. Pada daerah ini didominasi oleh alga merah, organisme penghasil kapur, kebanyakan berbentuk menjalar, terkadang kelp yang lebat (alga coklat) atau terkadang pada suatu tempat di Hemisphere selatan yaitu penyering makanan seperti tunicata (sea squirt).
Sedangkan pembagian menurut Reseck (1980) zonasi pada pantai berbatu dibagi menjadi empat zonasi :
1. Zone I : daerah yang paling tinggi dan selalu kering (spray zone/upper litoral zone).
2. Zona II : Daerah yang mengalami kekeringan 2 kali sehari selama pasang terendah, selama 4-6 jam.
3. Zona III : Daerah yang mengalai kekeringan dalam waktu yang agak pendek, kurang lebih 1-3 jam.
4. Zona IV : Daerah yang mengalami kekeringan sangat relatif singkat, kurang lebih 12 jam.
Pembagian zonasi pada pantai berbatu juga dapat didasarkan oleh organisme yang hidup pada daerah tersebut (Barnes & Hughes, 1999). Pembagian zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Zonasi dari mikroalga. Zonasi ini didasarkan oleh fotosintesis yang terjadi didalam air. Pembagian tersebut yakni:
a. Pada spesies yang terdapat pada lower shore fotosintesis lebih baik di udara dibanding dalam air.
b. Pada spesies yang terdapat pada mid hingga upper shore fotosintesis lebih baik didalam air disbanding diatas daratan. Kekuatan fotosintesis dalam air pada spesies ini yakni enam kali lebih kuat.
2. Zonasi dari hewan. Zonasi ini didasarkan oleh dua hal yang sangat signifikan yaitu:
a. Makanan. Ketersediaan makanan sangat penting utamanya bagi organisme yang pergerakannya sangat lambat atau yang tidak berpindah tempat.
b. Pergerakan. Organisme perlu berpindah untuk mencari makan, sehingga faktor ini juga sangat terkat dengan faktor yang pertama.
Suatu gambaran yang sangat luar biasa dari pantai diseluruh dunia, yang terlihat pada waktu pasang surut adalah, menonjolnya pembagian horizontal atau zonasi organisme (Nybakken, 1992). Hal tersebut nampak pada gambar 4 yang terlihat zonasi yang menunjukkan perbedaan organisme yang menempati daerah yang berbeda untuk tiap kedalaman perairan. Keragaman tersebut tidak lepas keterkaitannya dengan proses fisik pada perairan.
Zonasi Pantai Berbatu Pada Beberapa Belahan Dunia yang Berbeda
Pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi pantai berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992).
2. Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berpasir
Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pada jenis pantai ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose.
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran partikelnya kecil.
3. Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur merupakan pantai yang memiliki substrat yang sangat halus dengan diameter kurang dari 0.002 mm. Menurut Nybakken (1992) pantai berlumpur berada pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang secara langsung. Akibat tidak adanya hempasan gelombang maka daerah ini sulit untuk mengalami perkembangan yang signifikan.
Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat kurang yang telah dikaji. Secara umum dapat dibagi menjadi:
1. Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang menggali substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan paling sering mengalami kekeringan.
2. Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas diantara bagian ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh tiram dan policaeta.
Pada dasarnya pembagian tersebut belum terlalu jelas batasannya. Hal ini dikarenakan organisme pada kedua tempat tersebut tidak menetap hanya pada zona tersebut tetapi juga dapat berpindah ke zona yang lain.
Meiofauna
Meiofauna merupakan jenis metazoa (tidak termasuk protozoa) yang bergerak yang lebih kecil dari makrofauna tetapi lebih besar dari makrofauna. Ukuran dari meiofauna yakni 500 μm (atau 1000 μm) atau diatasnya, dan 63 μm (atau 42 μm) atau dibawahnya (Eleftheriou and Mclntyre, 2005). Meiofauna yang banyak terdapat disedimen intertidal antara lain : Foraminiferan, Ciliate, Turbellarian, Tardigrade, Gnathostomulid, Herpacticoid copepod, Gastrotrich, dan Nematode.
Pembagian meiofauna secra melintang pada daerah intertidal dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan jenis pasirnya. Zona tersebut (Field and Grriffiths, 1991 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu:
1. Zona pasir kering (dry sand zone) yaitu zona sampai kedalaman 15 cm, temperatur pada daerah ini selalu berubah-rubah dengan kelembaban dapat kurang dari 50%, hanya terdapat sedikit nematoda dan oligochaetes hidup di zona ini.
2. Zona pasir lembab (moist sand zone) yaitu zona yang terletak dibawah dry sand zone. Temperatur pada zona ini relatif konstan dengan kelembaban lebih dari 50%. Harpacticoid copepoda, mystacocarid, nematoda, oligochaetes dan turbelaria banyak terdapat di zona ini.
3. Zona air (water table stratum) yaitu zona dengan kelembaban 40-70%, nematoda dan crustacea mendominasi zona ini.
4. Zona oksigen rendah (low oxygen zone) yaitu zona dmana populasi meiofauna sangat jarang dijumpai. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya oksigen yang tersedia untuk metabolism organism.
Macrophytes Pada Pantai yang Terlindung
Jenis makrophytha pada ekosistem intertidal sangat beragam berdasarkan jenis lintang dan letak geografisnya. Makrophyta merupakan tanaman yang mengalami evolusi sehingga dapat hidup pada dua jenis air dengan salinitas yang berbeda yakni air laut dan air tawar. Ada tiga jenis makrophyta yang dapat ditemukan pada ekosistem intertidal yaitu:
1. Lamun (sea grass)
2. Mangrove, dan
3. Rawa asin (salt marsh).
Ketiga ekosistem tersebut dapat dijadikan salah satu penciri ekosistem intertidal pada daerah yang berbeda.
1. Lamun (sea grass)
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu jenis ekosistem yang terdapat pada daerah intertidal baik di daerah tropis maupun pada daerah sub tropis. Ekosistem ini banyak ditemukan pada pantai berpasir. Kerena hidup pada daerah berpasir lamun memiliki fungsi yakni sebagai penstabil sedimen dan mengatur kualitas air pada daerah tersebut (Gambi et al, 1990 in Hossain Md.M.K., 2005).
Secara umum distribusi lamun saat ini dicirikan oleh genus yang hanya dapat tumbuh pada daerah tropik atau hanya pada daerah sub tropik. Diseluruh dunia ditemukan 12 genus dari lamun. Ada 7 genus lamun yang hanya ditemukan pada daerah tropis yaitu: Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, Halophila. Pada daerah sub tropic yang hanya ditemukan 5 genus yaitu: Zostera, Phyllospadix, Heteroztera, Posidonia, Amphibolis. Batasan untuk tiap genus tersebut belum terlalu jelas (Larkum et al. 1989).
Distribusi lamun banyak terdapat pada daerah tropis yakni pada Indo pasifik, Karibia, dan Pasifik. Pada ketiga daerah sebaran lamun tersebut memiliki karakteristik masing-masing yang membedakannya. Pada daerah pasifik dan daerah karibia terdapat beberapa spesies yang memiliki kemiripan yaitu : Thalassia testudinium, Thalassia hemprichii, Syringodium filiforme, Syringodium isoetifolium, Halodule wrightii, dan Halodule uninervis (Dawes , 1981).
Distribusi lamun pada daerah lintang tinggi dapat dilihat dari distribusinya pada daerah benua Australia. Pada benua tersebut terdapat berbagai jenis lamun yang tumbuh. Faktor penentu pertumbuhan lamun yakni suhu dan cahaya yang cukup.
Pada daerah mediterania terdapat jenis lamun yang tumbuh yakni Cymodocea nodusa. Lamun jenis ini banyak ditemukan pada berbagai tempat yakni pada pesisir, pada daerah lagoon, dan pada daerah estuaria. Sebaran yang luas dikarenakan lamun jenis ini lebih adaptif terhadap lingkungan yang ekstrim (Cancemi G. et al., 2002).
2. Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu komunitas pada pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2002). Ekosistem ini dapat ditemukan pada daerah estuaria atau muara sungai. Ada lima proses yang terjadi pada hutan mangrove yang menyebabkan pentingnya hutan mangrove pada daerah intertidal yang berlumpur (Lugo and Snedaker, 1974) yaitu:
1. Produktifitas primer
2. Membantu respirasi antara permukaan dan tanah
3. Membantu respirasi dalam lumpur
4. Pertukaran dari mineral dan nutrient
5. Perantara pengantar nutrient ke ekosistem yang lain.
Unit mangrove yang paling besar didunia ditemukan pada daerah Brasilia tepatnya pada daerah muara sungai Amazone. Ketinggian pohon pada daerah tersebut dapat mencapai 20 m (Lara, 2002).
Pada daerah ini keadaan salinitas dapat berubah dengan drastis karena interaksi antara air laut dengan air tawar. Akibat adanya perubahan tersebut maka ekosistem mangrove dapat dibagi dalam beberapa zona yaitu:
a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10 - 30 0/00. Pada daerah ini dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
1. Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan (Rhizophora mucronata )
2. Area yang terendam 10 - 19 kali per bulan (A. alba, A. marina, Sonneratia griffithii, Rhizophora sp).
3. Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan ( Rhizopho-ra sp., Bruguiera sp.)
4. Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun ( Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora apiculata)
b. Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 - 10 0/00. Pada zonasi ini dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
1 Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut: asosiasiasi Nypa.
2 Area yang terendam secara musiman: Hibiscus dominan.
Secara global suhu sangat mempengaruhi perkembangan struktural dan pertumbuhan hutan mangrove. Pertumbuhan mangrove akan berkurang secra linear seiring dengan bertambahnya lintang karena pengaruh penyinaran yang berdampak langsung terhadap suhu. Pada lintang 350U dan 380S hutan mangrove digantikan dengan rawa asin (Sherman R.E et al, 2003).
Pada daerah lintang tinggi dimana terdapat peralihan dari hutan mangrove ke rawa asin menyebabkan zonasi yang berbeda dengan yang ditemukan pada daerah tropis.
3. Rawa Asin (salt marsh)
Rawa asin merupakan salah satu bagian dari ekosistem intertidal yang terdapat pada daerah lintang tinggi. Fungsi dari rawa asin tidak jauh berbeda dengan hutan mangrove.
Pola distribusi pada rawa asin dimulai dari semak pada bagian luar semakin masuk kedalam daratan maka akan dodominasi oleh pohon. Daerah ini merupakan peralihan yang sangat penting.
Zonasi Sepanjang Garadien Estuaria
Pada daerah estuaria sangat rentan dengan perubahan gradien salinitas yang sangat fluktuatif akibat pengaruh interaksi antara air laut dengan salinitas yang tinggi dan air tawar dengan salinitas yang rendah. Perubahan tersebut menyebabkan zonasi organisme yang berusaha menyesuaikan diri pada daerah yang fultuatif tersebut.
Menurut Lauff (1967) in Raffaelli and Hawkins (1996) mengklasifikasikan ekologi pada daerah estuaria berdasarkan rentang salinitas dalam (venice system) yaitu :
1. Kelompok oligohaline, dicirikan oleh beberapa spesies tertentu (seperti oligochaetes). Organisme pada daerah ini memerlukan air tawar untuk hidup, namun dapat mentolerir kadar garam hingga 5%. Pada daerah ini karakteristik daratan masih sangat dominan disbanding karakteristik laut. Spesies estuaria yang sebenarnya seperti sejumlah kecil polychaete manayunkia, hidup dibagian pusat estuaria yang berkadar garam 5 – 18%.
2. Kelompok euryhaline, contoh spesiesnya seperti corophium, hydrobia dan nereis. Merupakan daerah estuaria yang banyak dipengaruhi oleh karakteristik laut. Toleransi spesiesnya hingga kadar garam 18% atau kurang.
3. Kelompok stenohaline, berada di sepanjang mulut estuaria yang dapat mentolerir perubahan salinitas yang sangat besar.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Vegetasi yang biasa hidup pada daerah ini diantaranya ekosistem mangrove, lamun, dan rawa asin (Saltmarshes).
Karena daerah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka. Zona intertidal secara bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, sehingga organisme yang hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptasi baik untuk kondisi basah dan kering. Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan pengeringan. Biota zona intertidal antara lain bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.
Daftar Pustaka
Abi. 2010. http://Abivaleyzone.blogspot.com/2010/01/adaptasi-biota-zona-intertidal.html. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB.
Efendi, Eko. 2009. http://blog.unila.ac.id/ekoefendi/2009/01/01/penyebab-zonasi.html. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB.
Kurnia, Ika dkk. 2008. Organisme Intertidal. http://scribd.com/intertidal. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.30 WIB.
Ranggon. 2007. http://rang9on-bekasi.blog.friendster.com/2007/03/zona-intertidal/. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.10 WIB.
Wikipedia. 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/intertidal-zone. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.20 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar